KabarLinggau.Com- Prosesi adat perkawinan Naek Tiang Kule merupakan kegiatan budaya yang berkembang di Kota Lubuklinggau sejak jaman dahulu dan tetap lestari yang merupakan bagian dari budaya Indonesia dan Dunia. Naek Tiang Kule adalah peristiwa budaya yang merupakan bagian dari proses adat perkawinan. Naek Tiang Kule merupakan proses Rasan Berasan yang harus diketahui oleh pemerintah setempat. Bila proses ini selesai, maka Dere akan menyandang status Nyan dan Bujang akan menyandang status Tunang. Sebagai tanda, ibu dari Bujang akan memberikan rebang kepada Dere untuk dikenakan dan rebang harus dipakai hingga proses pernikahan. Begitu juga sebaliknya, ibu dari Dere akan memberikan selendang untuk dikenakan oleh Bujang.
Dalam prosesi perkawinan sebelum menuju Naek Tiang Kule, didahului dengan pemberian Gan oleh Bujang kepada Dere (Gadis). Gan merupakan tanda dari pihak Bujang kepada pihak Dere bahwa mereka akan mengikat janji untuk menuju gerbang pernikahan. Biasanya berupa sen, pisau, cincin dan sapu tangan. Sen memiliki makna simbol penghargaan dari bujang kepada dere. Pisau memiliki makna semangat untuk membentuk kehidupan keluarga sakinah, mawwadah, warrohmah. Cincin memiliki makna bahwa si Bujang ingin sekali mengikat Dere dalam ikatan perkawinan. Gan biasanya diberikan Bujang kepada Dere tiga hari sebelum Proses Nyusuk Rasan Kule.
Setelah Bujang memberikan Gan kepada pihak Dere, maka Bujang mengabarkan kepada keluarganya, bahwa ia berniat untuk memperistri sang Dere. Maka berkumpullah pihak keluarga Bujang, dan mereka menunjuk Ketue Rasan. Ketue Rasan adalah orang yang dianggap mampu untuk menyampaikan maksud dan kehendak kepada pihak Dere. Kemudian si Bujang akan mengabarkan kepada pihak Dere bahwa keluarga Bujang akan bertandang ke-keluarga Dere. Mendengar berita tersebut, maka Dere juga akan menyampaikan kepada keluarganya akan rencana kunjungan dari keluarga Bujang.
Kemudian pihak Bujang beserta keluarga datang ke rumah Dere, proses ini disebut Rasan Berasan, biasanya pihak keluarga Bujang membawa gula, kopi, beras, kelapa, ayam, dan lain sebagainya. Kemudian kelengkapan untuk Nyusuk Rasan Kule, sirih masak, kapur, gambir dan pinang serta pinggan kecil. Sirih dilipat sebagai lambang penghormatan, Gambir bermakna pembicaraan harus manis, Pinang lambang Kitab Simbur Tjahaye, Kapur bermakna membasmi hal-hal yang jahat dan tidak baik.
Rombongan pihak Bujang disambut oleh Keluarga Dere, memasuki tempat yang telah ditentukan. Setelah itu, Ketue Rasan akan menyodorkan pinggan kecil yang berisi sirih masak, dengan tampuk sirih kearah Ketue Rasan Dere. Usai Ketue Rasan Bujang menyodorkan pinggan kecil berisi sirih masak, maka Ketue Rasan Dere akan menekan sirih masak tersebut dan memutarnya tampuknya kembali kearah Ketue Rasan Bujang, ini berarti bahwa Ketue Rasan Dere mempersilahkan Ketue Rasan Bujang untuk berbicara menyampaikan maksud dan tujuan mereka, dengan Haramba, yaitu: “Atak ayak si atak ayak, atak ayak lore temege, sirih pinang ku atur dulu, atak ayak ku ngatur kate, sembah ku ngiring mangunian. Ayolah besan makan sirih, sirih kalakap pinang talang, sirih dak cukup pinang kurang, kak lah oleh Bujang Alap”. Kemudian dibalas oleh Ketue Rasan Dere, “Ayolah calon besan, name semaje ponga, kami siap untuk nerime”.
Setelah berbalas Haramba, Ketue Rasan Bujang dan Ketua Rasan Dere terlibat dalam pembicaraan seputar maksud dan tujuan dari rombongan Bujang. Kemudian Ketue rasan Bujang membuka pembicaraan dengan menggunakan bahasa daerah setempat “Kami kak ade semaje, menurut kabar dari sang Bujang kami, di uma kak ade Dere, kabar a Bujang ngan Dere kak la bebusik, begurau ngan Dere, ulasa la lame bebusik ade kate sepakat, Bujang kami nak minang Dere hikak”.
Mendengar apa yang disampaikan oleh Ketue Rasan Bujang, Ketue Rasan Dere memanggil Dere untuk mempertanyakan kebenaran berita tersebut. Saat itu juga, Dere keluar dan menjelaskan kebenaran yang disampaikan oleh pihak Bujang sambil memperlihatkan Gan.
Apabila Ketue Rasan Bujang menyanggupi permintaan dari Ketue Rasan Dere, maka masuk ke proses Naek Tiang Kule, yaitu proses rasan berasan yang harus diketahui oleh pemerintah setempat. Bila proses ini selesai, maka Dere akan menyandang status Nyan dan Bujang akan menyandang status Tunang. Sebagai tanda, ibu dari Bujang akan memberikan rebang kepada Dere untuk dikenakan dan rebang harus dipakai hingga proses pernikahan. Begitu juga sebaliknya, ibu dari Dere akan memberikan selendang untuk dikenakan oleh Bujang. Kemudian dilanjutkan dengan Sembah Sujud yang dilakukan oleh Bujang dan Dere kepada kedua orang tua, nenek, kakek, paman, bibi, dan kerabat dari kedua belah pihak.
Biasanya 20 hari setelah hari rasan berasan, pihak Tunang akan melakukan proses Ngatat Dendan. Ngatat Dendan menyerahkan permintaan atau beban tugas yang pernah disampaikan oleh Ketue Rasan Dere kepada Ketue Rasan Bujang sewaktu proses Nyusuk Rasan Kule. Ketue Rasan Tunang menyampaikan seluruh permintaan yang pernah dibebankan kepada mereka, setelah itu ditentukan waktu pelaksanaan pernikahan. Sebagai catatan, apabila terjadi rasan urung yang dilakukan oleh pihak Dere, maka Dere akan membayar denda 2 x lipat dari permintaan yang pernah diajukan
kepada pihak Bujang, begitu juga bila rasan urung dilakukan oleh pihak Bujang juga akan dikenakan denda, Gan tidak akan dikembalikan ke Bujang dan harus membayar Ubat Asek Dere sesuai dengan kesepakatan.
http://yokohumas.blogspot.com/
5 komentar:
wah baru tau nih,,, makasih infonya sob,,ternyata ngak jauh beda dengan jambi, cuman cara dan sebutanya aja yang berbeda,, sukses selalu sob,,,
info menarik sob, nitip Blog Bola disini ya bro
Oke sob,, saya berani mastiin ini blog DOFOLLOW
kok blm muncul sob komen ku, coba tak sodok ..nah akhirnya muncul juga
adat linggau ya...
Posting Komentar